Sukses

Jamasan Kiai Bonto di Blitar, Mengenang Kematian Putri Raja Mataram yang Baru Lahir

Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, terdapat tradisi terkanal yang masih di gelar oleh masyarakat sekitar hingga saat ini, yakni tradisi siraman atau jamasan Kiai Bonto.

Liputan6.com, Blitar - Di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, terdapat tradisi terkanal yang masih di gelar oleh masyarakat sekitar hingga saat ini, yakni tradisi siraman atau jamasan Kiai Bonto. Kiai Bonto adalah sebuah wayang krucil yang terbuat dari kayu. Bentuknya seperti Togog, salah tokoh wayang.

Tradisi ini biasanya digelar sepaket dengan jamasan Kiai Pradah. Kedua benda itu diyakini peninggalan kerajaan Mataram milik Sunan Prabu Amangkurat III atau Raden Mas Sutikno.

Kedua benda itu sampai di wilayah Blitar Selatan Jawa Timur karena dibawa Sang Prabu yang melarikan diri ke arah timur selatan Jawa, akibat perang saudara dengan saudaranya sendiri, Pangeran Puger.

Gong Kiai Pradah ada di daerah Lodoyo (sekarang Kecamatan Sutojayan) dan Kiai Bonto ditemukan di Dusun Pakel, Desa Kebonsari Kecamatan Kademangan. Dua lokasi itu hanya berjarak sekitar 25 kilometer.

Kiai Bonto bukan hanya terdiri dari satu wayang, melainkan tiga buah. Jamasan gong Kiai Pradah dilakukan setiap tanggal 12 Maulud demikian pula siraman Kiai Bonto.  Masyarakat menyebut ritual ini Gerebeg Mulud.

Konon ritual di Blitar ini sudah terlaksana sejak ratusan tahun lalu. Seorang raja Mataram yang dikenal masyarakat bernama Sunan Prabu, meninggalkan sekotak wayang krucil di tempat yang kemudian dinamakan Dusun Pakel.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Kehilangan Putri yang Baru Lahir

Di tempat ini Sunan Prabu dan istrinya Raden Ayu Mayangsari kehilangan putri mereka yang bernama Raden Ayu Suwartiningsih. Putri mereka meninggal, sesaat setelah dilahirkan.

Malam sebelum hari ritual siraman Kiai Bonto, dilakukan ziarah di makam Raden Ayu Suwartiningsih. Saa itu juga digelar jidoran atau terbangan serta melantunkan salawat nabi dan Yasinan.

Pada keesokan harinya, kotak tempat menyimpan wayang krucil peninggalan Prabu Agung Sunan Probo dan Raden Ayu Mayangsari dibawa menuju makam Raden Ayu Suwartiningsih. Setelah ritual nyekar di makam, wayang kayu Kiai Bonto kemudian dikirap menuju tempat siraman yang tak jauh dari makam

Kemudian, juru kunci dan sesepuh desa setempat melakukan siraman terhadap tiga buah wayang kayu Kiai Bonto. Wayang kayu Kiai Bonto yang sudah ditaburi kembang setaman, disucikan menggunakan air yang juga sudah ditaburi dengan kembang setaman.

Usai ritual siraman Kiai Bonto, warga rela berdesak-desakan untuk berebut gunungan tumpeng dan juga air bekas penyucian pusaka wayang. Warga percaya, air bekas jamasan dan bunga setaman tersebut mendatangkan berkah.

(Tifani)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.